Oleh : DRS. Achmad Zulkarnain
Abu Hurairah, r.a. menceriterakan kepada kita bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda : Janda tidak boleh dikawinkan sehingga diminta perintahnya,
dan perawan tidak boleh dikawinkan sehingga diminta idzinnya.
Shahabat bertanya : “Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana idzinnya ?. “
Beliau bersabda : “Diamnya” (HR. MUSLIM).
Info Perkembangan Kota Surabaya. Kajian Islam, Artikel. --- Menurut Islam, membangun
keluarga bahagia adalah suatu hal yang sangat penting, harus
dirindukan dan harus diupayakan dengan sungguh-sungguh, hal ini
dikarenakan kebahagiaan itulah yang menjadi pokok keutamaan hidup
berkeluarga sebagaimana QS. Ar Ruum 30 : 21.
Dalam pemilihan calon
suami, setidaknya ada dua factor yang menjadi alasan dan motivasi
bagi wanita dalam menentukan kriteria calon suaminya, yaitu (1).
Factor obyektif dan (2). Factor subyektif.
(1). Faktor obyektif
sebagai unsur azasi yang wajib diperhatikan yaitu unsur agama dan
budi pekertinya. Sebagai unsur pokok, yang didambakan adalah seorang
calon suami yang teguh dan kuat didalam memegang agamanya. Dari sisi
pandang non fisik pria ideal, syarat agar calon suami rajin
menjalankan ibadah agama adalah tetap paling menonjol. Artinya calon
suami yang religius memang yang didambakan.
(2). Faktor subyektif
yaitu unsur yang didasarkan pada kecenderungan masing-masing, seperti
: alasan cinta, pertimbangan ekonomi, dan lainnya.
Alasan Cinta dan
Ekonomi
Sebelum menikah seorang
wanita biasanya ingin tahu apakah ia akan bahagia atau tidak.
Beberapa pasangan memperturutkan kata hatinya dalam suatu pembicaraan
secara analitis dan lama. Dan pasangan lainnya berkonsultasi dengan
teman-temannya atau sanak familinya dalam usaha memberi keyakinan
yang mantap bahwa pernikahannya akan bahagia.
Yang perlu dipahami
adalah setiap wanita ingin dan membutuhkan untuk mengetahui mengapa
--- untuk sebagian besar wanita ---- perkawinan merupakan sarana
terpenuhinya impian-impian mereka dan cinta adalah alasan yang paling
penting ketika mereka hendak segera membangun suatu hubungan menjadi
perkawinan yang sah menurut agama dan hukum positif Indonesia.
Obsesi cinta sering
membawa seorang wanita kebelantara fantasinya, obsesi cinta pada
dasarnya ada empat type, yakni :
- kecanduan rasa rindu
- keinginan mempercepat pengesahan hubungan asmaranya, menikah.
- kegandrungan mengembangkan illusinya.
- kegandrungan bercinta dengan roman yang menjurus pada bangkitnya birahi.
Obsesi cinta ini sangat
berpengaruh pada seorang wanita yang sedang kasmaran, meskipun cinta
itu sendiri sulit ditebak kapan mulai muncul. Ketidakpastian
datangnya cinta memunculkan beberapa model perkawinan di masyarakat,
seperti :
- kawin dulu baru cinta
- cinta dulu baru kawin, atau
- hamil dulu baru kawin.
Hadirnya cinta pada
percaturan pertimbangan proses seleksi calon suami pada kenyataannya
memang sulit untuk dielakkan, dan justru unsur cinta inilah yang
bertindak sebagai api penyulut besarnya nyali seorang wanita memasuki
dunia perkawinan.
Memang beberapa keluarga
ditegakkan atas dasar cinta, namun beberapa diantara lainnya tidak
sedikit perkawinan yang dilaksanakan dengan dasar cinta berakhir
dengan kenestapaan.
Dan sisi lainnya ---
Ekonomi. Ekonomi merupakan alasan yang tidak pernah terabaikan dalam
proses seleksi jodoh. Ekonomi memang bukan satu-satunya tolok ukur
kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga, tapi faktor ekonomi
merupakan alat yang ampuh untuk menjaga kestabilan hidup rumah
tangga. Dengan kondisi keuangan yang cukup maka sepasang suami-istri
dapat membiayai kebutuhan hidup rumah tangganya. Oleh karenanya
faktor ekonomi tetap menjadi pertimbangan yang kuat dalam penentuan
calon suami.
Hak Ijbar dan Peran
Orang Tua Wali
Kedudukan wali nikah
dalam hukum Islam menempati posisi penting, sebagaimana dalam hadits
: Dari Abu Burdah, dari Abu Musa, dari Ayahnya, r.a. Ia berkata :
Rasulullah SAW. Bersabda : “ Tidak ada nikah melainkan dengan wali
“. (HR. Imam Ahmad dan Arba’ah). Dari ungkapan hadits diatas
maka berlangsungnya suatu pernikahan yang sah harus menghadirkan
wali. Dengan demikian tiada seorang wanita pun yang dapat dan boleh
menikahkan dirinya sendiri (meskipun wanita tersebut sudah dewasa dan
mampu mengurus dirinya sendiri, baik gadis maupun janda) tanpa
mengikutsertakan wali maka pernikahan yang dijalani berakibat batal
menurut hukum. Hadits diriwayatkan dari Abi Hurairah, r.a. bahwasanya
Rasulullah SAW. Bersabda : “ Janganlah perempuan mengawinkan
perempuan lain. Dan Janganlah pula mengawinkan dirinya sendiri. “
(Sunan Ibnu Majjah, Juz I).
Adapun wali nikah yang
mempunyai hak paling dominan yaitu wali mujbir. Wali mujbir itu
adalah bapak atau bapaknya bapak (baca : Kakek). Wali mujbir ini
mempunyai hak ijbar yaitu hak paksa anak gadisnya untuk menikah.
Wali mujbir (utamanya
bapak) dengan hak ijbar yang menjadi kewenangannya bila dihadapkan
dengan hak kebebasan wanita memilih dan menentukan calon suaminya ada
perbedaan menyolok antara kubu Imam Syafi’I dengan kubu Imam
Hanafi. Perbedaan yang paling kontras diantara mereka berkaitan
dengan hak ijbar atas diri gadis dewasa, bukan gadis kecil belum
dewasa dan juga bukan janda. Menurut Imam Syafi’I,
Kewenangan wali mujbir adalah berhak mengawinkan anak gadisnya
yang masih perawan, yang sudah dewasa atau baligh tanpa menunggu
keridloan yang dikawinkan itu. Batasan ini termasuk gadis yang masih
belum dewasa. Menurut Imam Hanafi, Kewenangan wali mujbir
berkenaan dengan hak ijbar yang dimilikinya, secara terus menerus
hanya sampai pada saat mereka mencapai usia dewasa.
Hak Ijbar, berlakunya
harus mempunyai tolok ukur agar tidak merugikan anak gadisnya dan
supaya terhindar dari melampaui batas kewenangan. Adapun tolok ukur
berlakunya hak ijbar pada gadis dewasa (balighah) yaitu : (1). Kufu’,
antara anak gadisnya dengan calon suaminya. (2). Tidak ada permusuhan
antara wali mujbir dengan anak gadisnya tentang calon suaminya. (3).
Wali mujbir itu hadir saat pernikahan akan dilangsungkan. Jika
unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan putusnya hak
ijbar wali mujbir.
Agar tidak terjadi
perselisihan yang cukup tajam dan berkepanjangan, apalagi
mengakibatkan terputusnya ikatan antara anak gadisnya dengan orang
tua sebagai dampak beda pandangan mengenai calon suami dan calon
menantu pria, maka alangkah baiknya dikomunikasikan secara baik dan
bijak. Hendaknya para gadis dewasa meminta pendapat, nasehat dan
pertimbangan pada orang tua tentang diri calon suaminya, dan
sebaliknya para orang tua sanggup dan bersedia mendengarkan pendapat
dan pandangan anak gadisnya tentang calon suaminya. Dan bila dua
kepentingan itu bertemu hendaknya dilakukan persetujuan bersama
dengan tanpa ada keberatan dan saling merugikan. Hal ini sebagaimana
diungkapkan Abu Zahrah, walau pun mayoritas ahli-ahli fikh
sependapat, bahwa seseorang wanita tidak dapat dipaksa untuk memilih
seorang suami yang tertentu, namun mereka sependapat juga, bahwa
janganlah dia (wanita) sendiri yang menentukan pilihan itu, melainkan
harus dibantu oleh keluarganya yang menjadi wali.
Peran orang tua (baca :
bapak) sangat penting saat anak gadisnya akan menikah karena
menyangkut tanggung jawab orang tua mengantarkan anak gadisnya ke
pintu kehidupan yang bahagia, hal ini benar-benar harus dipahami oleh
setiap anak gadis dewasa. Bagaimana pun, tentang calon suami, Prof.
DR. Mahmud Syaltut menasehatkan agar masalah ini dibicarakan secara
musyawarah diantara anak gadisnya, bapak (wali mujbir) dan ibunya.
Dari Abi Hatim Al Mujanni, r.a. bahwasanya Rasulullah SAW.
Bersabda : Apabila telah datang kepadamu orang yang telah kamu
setujui agamanya dan budi pekertinya, maka kawinkanlah dengan dia,
karena kalau tidak kamu laksanakan maka dia anakmu itu akan menjadi
fitnah dipermukaan bumi ini dan kerusakan yang sangat besar.
(At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz II, Ath Thaharah, tt.)
Sumber : Dari
Berbagai Sumber. (Red/Zul/Kajian Islam/Artikel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar