Senin, 23 Juli 2012

MENENTUKAN CALON SUAMI : KEBEBASAN WANITA VERSUS ORTU?

Oleh  : DRS. Achmad Zulkarnain



Abu Hurairah, r.a. menceriterakan kepada kita bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : Janda tidak boleh dikawinkan sehingga diminta perintahnya, dan perawan tidak boleh dikawinkan sehingga diminta idzinnya. Shahabat bertanya : “Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana idzinnya ?. “ Beliau bersabda : “Diamnya” (HR. MUSLIM).



Info Perkembangan Kota Surabaya. Kajian Islam, Artikel. --- Menurut Islam, membangun keluarga bahagia adalah suatu hal yang sangat penting, harus dirindukan dan harus diupayakan dengan sungguh-sungguh, hal ini dikarenakan kebahagiaan itulah yang menjadi pokok keutamaan hidup berkeluarga sebagaimana QS. Ar Ruum 30 : 21.

Dalam pemilihan calon suami, setidaknya ada dua factor yang menjadi alasan dan motivasi bagi wanita dalam menentukan kriteria calon suaminya, yaitu (1). Factor obyektif dan (2). Factor subyektif.
(1). Faktor obyektif sebagai unsur azasi yang wajib diperhatikan yaitu unsur agama dan budi pekertinya. Sebagai unsur pokok, yang didambakan adalah seorang calon suami yang teguh dan kuat didalam memegang agamanya. Dari sisi pandang non fisik pria ideal, syarat agar calon suami rajin menjalankan ibadah agama adalah tetap paling menonjol. Artinya calon suami yang religius memang yang didambakan.
(2). Faktor subyektif yaitu unsur yang didasarkan pada kecenderungan masing-masing, seperti : alasan cinta, pertimbangan ekonomi, dan lainnya.

Alasan Cinta dan Ekonomi

Sebelum menikah seorang wanita biasanya ingin tahu apakah ia akan bahagia atau tidak. Beberapa pasangan memperturutkan kata hatinya dalam suatu pembicaraan secara analitis dan lama. Dan pasangan lainnya berkonsultasi dengan teman-temannya atau sanak familinya dalam usaha memberi keyakinan yang mantap bahwa pernikahannya akan bahagia.

Yang perlu dipahami adalah setiap wanita ingin dan membutuhkan untuk mengetahui mengapa --- untuk sebagian besar wanita ---- perkawinan merupakan sarana terpenuhinya impian-impian mereka dan cinta adalah alasan yang paling penting ketika mereka hendak segera membangun suatu hubungan menjadi perkawinan yang sah menurut agama dan hukum positif Indonesia.

Obsesi cinta sering membawa seorang wanita kebelantara fantasinya, obsesi cinta pada dasarnya ada empat type, yakni :
  1. kecanduan rasa rindu
  2. keinginan mempercepat pengesahan hubungan asmaranya, menikah.
  3. kegandrungan mengembangkan illusinya.
  4. kegandrungan bercinta dengan roman yang menjurus pada bangkitnya birahi.

Obsesi cinta ini sangat berpengaruh pada seorang wanita yang sedang kasmaran, meskipun cinta itu sendiri sulit ditebak kapan mulai muncul. Ketidakpastian datangnya cinta memunculkan beberapa model perkawinan di masyarakat, seperti :
  1. kawin dulu baru cinta
  2. cinta dulu baru kawin, atau
  3. hamil dulu baru kawin.
Hadirnya cinta pada percaturan pertimbangan proses seleksi calon suami pada kenyataannya memang sulit untuk dielakkan, dan justru unsur cinta inilah yang bertindak sebagai api penyulut besarnya nyali seorang wanita memasuki dunia perkawinan.

Memang beberapa keluarga ditegakkan atas dasar cinta, namun beberapa diantara lainnya tidak sedikit perkawinan yang dilaksanakan dengan dasar cinta berakhir dengan kenestapaan.

Dan sisi lainnya --- Ekonomi. Ekonomi merupakan alasan yang tidak pernah terabaikan dalam proses seleksi jodoh. Ekonomi memang bukan satu-satunya tolok ukur kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga, tapi faktor ekonomi merupakan alat yang ampuh untuk menjaga kestabilan hidup rumah tangga. Dengan kondisi keuangan yang cukup maka sepasang suami-istri dapat membiayai kebutuhan hidup rumah tangganya. Oleh karenanya faktor ekonomi tetap menjadi pertimbangan yang kuat dalam penentuan calon suami.


Hak Ijbar dan Peran Orang Tua Wali

Kedudukan wali nikah dalam hukum Islam menempati posisi penting, sebagaimana dalam hadits : Dari Abu Burdah, dari Abu Musa, dari Ayahnya, r.a. Ia berkata : Rasulullah SAW. Bersabda : “ Tidak ada nikah melainkan dengan wali “. (HR. Imam Ahmad dan Arba’ah). Dari ungkapan hadits diatas maka berlangsungnya suatu pernikahan yang sah harus menghadirkan wali. Dengan demikian tiada seorang wanita pun yang dapat dan boleh menikahkan dirinya sendiri (meskipun wanita tersebut sudah dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri, baik gadis maupun janda) tanpa mengikutsertakan wali maka pernikahan yang dijalani berakibat batal menurut hukum. Hadits diriwayatkan dari Abi Hurairah, r.a. bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda : “ Janganlah perempuan mengawinkan perempuan lain. Dan Janganlah pula mengawinkan dirinya sendiri. “ (Sunan Ibnu Majjah, Juz I).

Adapun wali nikah yang mempunyai hak paling dominan yaitu wali mujbir. Wali mujbir itu adalah bapak atau bapaknya bapak (baca : Kakek). Wali mujbir ini mempunyai hak ijbar yaitu hak paksa anak gadisnya untuk menikah.

Wali mujbir (utamanya bapak) dengan hak ijbar yang menjadi kewenangannya bila dihadapkan dengan hak kebebasan wanita memilih dan menentukan calon suaminya ada perbedaan menyolok antara kubu Imam Syafi’I dengan kubu Imam Hanafi. Perbedaan yang paling kontras diantara mereka berkaitan dengan hak ijbar atas diri gadis dewasa, bukan gadis kecil belum dewasa dan juga bukan janda. Menurut Imam Syafi’I, Kewenangan wali mujbir adalah berhak mengawinkan anak gadisnya yang masih perawan, yang sudah dewasa atau baligh tanpa menunggu keridloan yang dikawinkan itu. Batasan ini termasuk gadis yang masih belum dewasa. Menurut Imam Hanafi, Kewenangan wali mujbir berkenaan dengan hak ijbar yang dimilikinya, secara terus menerus hanya sampai pada saat mereka mencapai usia dewasa.

Hak Ijbar, berlakunya harus mempunyai tolok ukur agar tidak merugikan anak gadisnya dan supaya terhindar dari melampaui batas kewenangan. Adapun tolok ukur berlakunya hak ijbar pada gadis dewasa (balighah) yaitu : (1). Kufu’, antara anak gadisnya dengan calon suaminya. (2). Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadisnya tentang calon suaminya. (3). Wali mujbir itu hadir saat pernikahan akan dilangsungkan. Jika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan putusnya hak ijbar wali mujbir.

Agar tidak terjadi perselisihan yang cukup tajam dan berkepanjangan, apalagi mengakibatkan terputusnya ikatan antara anak gadisnya dengan orang tua sebagai dampak beda pandangan mengenai calon suami dan calon menantu pria, maka alangkah baiknya dikomunikasikan secara baik dan bijak. Hendaknya para gadis dewasa meminta pendapat, nasehat dan pertimbangan pada orang tua tentang diri calon suaminya, dan sebaliknya para orang tua sanggup dan bersedia mendengarkan pendapat dan pandangan anak gadisnya tentang calon suaminya. Dan bila dua kepentingan itu bertemu hendaknya dilakukan persetujuan bersama dengan tanpa ada keberatan dan saling merugikan. Hal ini sebagaimana diungkapkan Abu Zahrah, walau pun mayoritas ahli-ahli fikh sependapat, bahwa seseorang wanita tidak dapat dipaksa untuk memilih seorang suami yang tertentu, namun mereka sependapat juga, bahwa janganlah dia (wanita) sendiri yang menentukan pilihan itu, melainkan harus dibantu oleh keluarganya yang menjadi wali.

Peran orang tua (baca : bapak) sangat penting saat anak gadisnya akan menikah karena menyangkut tanggung jawab orang tua mengantarkan anak gadisnya ke pintu kehidupan yang bahagia, hal ini benar-benar harus dipahami oleh setiap anak gadis dewasa. Bagaimana pun, tentang calon suami, Prof. DR. Mahmud Syaltut menasehatkan agar masalah ini dibicarakan secara musyawarah diantara anak gadisnya, bapak (wali mujbir) dan ibunya.

Dari Abi Hatim Al Mujanni, r.a. bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda : Apabila telah datang kepadamu orang yang telah kamu setujui agamanya dan budi pekertinya, maka kawinkanlah dengan dia, karena kalau tidak kamu laksanakan maka dia anakmu itu akan menjadi fitnah dipermukaan bumi ini dan kerusakan yang sangat besar. (At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz II, Ath Thaharah, tt.)


Sumber : Dari Berbagai Sumber. (Red/Zul/Kajian Islam/Artikel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar